Apa yang Kau Beri untuk Anakmu?

Oleh: Sion Antonius

Satu sore, anak saya yang pertama datang menghampiri dan kemudian berkata bahwa ia kehilangan kaos tim basketnya. Ia berkata bahwa kaos tersebut sudah dimasukkan kedalam tas, namun ketika diperiksa di rumah hanya ada celananya saja, kaos atasnya entah dimana. Ia menceritakan hal tersebut dengan gaya yang sedih dan bingung. Sebagai orang tua maka saya dapat mengerti apa yang diinginkannya, ia ingin supaya tidak dimarahi dan ingin ditolong, sebab beberapa hari kemudian ia harus ikut kompetisi bola basket antar sekolah, maka sangatlah tidak mungkin jika anak kami tidak memiliki kaos tersebut. Dengan kondisi seperti itu maka saya sebagai orang tua harus bijaksana dan menolongnya dengan serius.

Bagaimana saya menolongnya? Pertama adalah dengan tidak memarahinya. Saya tidak perlu memarahinya sebab dia sudah dihukum oleh perasaan bersalah dan rasa bingung kalau tidak dapat ikut tim bertanding. Kedua saya menyuruh dia untuk coba mencari di sekolah barangkali ada yang menemukan dan jika tidak ditemukan juga harus berunding dengan gurunya bagaimana memperoleh pengganti kaosnya yang hilang. Ketiga adalah dengan turun tangan sendiri mencarikan kaos pengganti untuk anak saya.Pertolongan yang saya lakukan ini bukan tanpa tujuan. Lalu apa tujuannya? Saya akan menjelaskan dibagian lain dari tulisan ini.

Setelah lewat beberapa hari, cara kedua yaitu mencari di sekolah dan meminta pertolongan guru tidak berhasil, maka tinggal cara ketiga yang menjadi harapan. Saya (ayahnya) berpikir tidak terlalu sulit untuk bikin satu buah kaos asal ada dananya. Ternyata dugaan saya meleset, tidak ada yang mau bikin hanya satu kaos saja, mereka bersedia membuat minimal 12 potong kaos dan waktunya tidak bisa cepat sedangkan waktu yang tersedia tinggal 3 hari. Dengan demikian pertolongan yang kami lakukan bukan lagi urusan yang gampang. Ada pengorbanan maksimal yang harus dilakukan, memang ini menjadi lebih pas dengan tujuan untuk mengatasi persoalan ini.

Mulailah kami dengan mencari bahan baku untuk kaosnya. Bahannya tidak sederhana karena ada kombinasi beberapa bahan, setelah bahan ada, kami mencari tukang jahitnya. Mencari penjahit bukan pekerjaaan gampang karena semuanya menolak order kami. Ketika perasaan khawatir tidak ada yang bersedia menjahit mulai timbul, harapan kembali muncul kepada 1 orang langganan kami. Orang ini memang menjadi target kami tetapi karena rumahnya jauh jadi diletakan pada pilihan terakhir, dan ketika ditelpon dia menyatakan bersedia, memang orang tersebut akhirnya yang menjahitnya. Dengan adanya orang yang bersedia menolong tidak lantas membuat hati tenang sebab kami saat ini sudah mengambil alih persoalan sang anak, jadi kalau kaos itu tidak selesai maka dia akan kecewa dan mungkin menuduh orang tuanya tidak serius menolong. Soal lainnya adalah apakah bisa dibuat kaos yang mirip dengan yang hilang karena yang menjahitnya bukan spesialis pembuat pakaian olahraga? Namun kami berusaha tetap optimis dan berpikir positif bahwa apapun yang terjadi semua harus bisa menerima, karena memang ada resiko dari setiap tindakan.

Kaos tersebut akhirnya selesai dan sungguh akhir yang sangat melegakan, karena hasilnya sungguh tidak ada bedanya dengan yang asli. Melangkahlah anak kami dengan pasti untuk pertandingan pada esok harinya.

Esok sorenya ketika saya tiba dirumah, anak kami langsung menceritakan teman-teman dan gurunya yang kagum bagaimana dia bisa mendapatkan kaos pengganti dan perasaaan gembiranya untuk kemenangan timnya atas lawannya. Saya berpikir inilah saatnya untuk mengungkapkan apa yang harusnya direnungkan dan diendapkan dalam hati anak kami atas apa yang terjadi dari hilangnya kaos hingga didapatkannya kaos pengganti. Ketika makan malam saya bilang pada dia bahwa orang tuanya mau bersusah payah menolong membuatkan kaos, itu adalah wujud cinta kasih dan perhatian terhadap kesulitan anaknya, namun ada yang lebih dari itu yaitu Tuhan yang sudah menyediakan segalanya untuk kita nikmati, maka hidup kita harusnya adalah hidup yang senantiasa mengingat dan bersyukur kepadaNya. Inilah yang menjadi tujuan saya menolongnya, yaitu keinginan supaya dia sejak kecil menyadari hidupnya berkaitan dengan Tuhan. Kalau orang tuanya yang tidak sempurna bisa menolong ketika dia menghadapi masalah, maka Tuhan yang Maha sempurna pasti juga tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya di dunia.

Banyak sekali orangtua yang kuatir untuk urusan dunia bagi anak-anaknya. Mereka dicarikan sekolah yang bagus, dikursuskan berbagai bahasa asing, ditambah kursus pelajarannya, diajarkan cara-cara yang paling kreatif didalam menghasilkan kakayaan. Orang tua memang pantas untuk kuatir, sebab hal-hal dunia ini memang menjadi tolok ukur keberhasilan dan posisi seseorang di dalam masyarakat. Orang tua seringkali merasa puas apabila sudah mencukupi kebutuhan pangan, sandang, pendidikan dan rekreasi anak-anaknya.. Ketika seorang anak mendapatkan nilai-nilai yang bagus di sekolah maka orang tua sudah puas hingga langit yang ketujuh. Namun sedikit sekali orangtua yang mendidik anaknya dalam soal-soal keagamaan, mereka tidak peduli bagaimana kualitas dari kerohanian anaknya.. Orang tua beralasan soal-soal keagamaan bukanlah tanggung jawabnya, melainkan tanggung jawab para pemimpin agama.

Orang tua yang tidak mendidik anaknya untuk mengenal Tuhan dengan serius adalah bukti bahwa merekapun tidak serius dalam berhubungan dengan Tuhannya. Padahal berurusan dengan Tuhan adalah masalah yang sangat serius melebihi masalah apapun, kecuali memang orang tersebut ateis. Mengapa kita harus serius berhubungan dengan Tuhan? karena suatu saat ketika sudah selesai di dunia ini, maka setiap manusia harus menghadap Sang Khalik untuk mempertanggungjawabkan kehidupannya di dunia, setelah itu akan ditempatkan di sorga atau neraka. Penempatan di sorga atau neraka ini tidak ada batas waktunya (selamanya), lain dengan hidup manusia selama di dunia yang ada batasnya. Jadi apabila kita oleh Sang Khalik ditempatkan di neraka, siapa yang harus kita salahkan?jawabannya adalah diri sendiri. Kembali kepada anak-anak yang menjadi tanggung jawab orangtuanya, apabila seorang anak mendapat tempat di neraka maka orang tuanya turut bersalah apabila selama masa hidupnya di dunia tidak mengajarkan tentang Tuhan secara serius kepada anaknya

Jadi dari cerita bagaimana kami menolong anak yang kaos tim basketnya hilang tersebut, saya sebagai ayahnya ingin memakai setiap kesempatan di dalam peristiwa sehari-hari untuk membuat anak tersebut semakin mengenal dan tahu siapa Tuhan yang dipercayainya. Pendidikan kerohanian harus menjadi investasi yang terbesar dalam kehidupan berkeluarga. Membuat seorang anak menjadi seorang yang dewasa dalam kerohanian membutuhkan waktu yang banyak, tidak mungkin melalui satu atau dua peristiwa kemudian anak-anak kita menjadi seorang yang taat kepada Tuhan.

Di akhir tulisan ini saya ingin menceritakan tekad seorang teman ketika sama-sama menuntut ilmu di perguruan tinggi. Dia adalah anak seorang pegawai negeri di bagian yang basah. Suatu kali kami berdiskusi tentang korupsi, kemudian dia membuat pernyataan yang sampai saat ini saya masih mengingatnya dengan jelas, katanya, Saya kalau sudah lulus mau korupsi, sebab ayah saya juga korupsi. Menurut saya itu cita-cita yang aneh, karena kami sedang menuntut ilmu untuk menjadi sarjana hukum. Bagaimana mungkin seorang yang harusnya menegakkan hukum malah mau menjadi orang yang melawan hukum. Kuncinya adalah dia pasti tidak dididik dengan serius dalam kerohaniannya.

link